Pada norma ini memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk melanjutkan penyidikan yang tidak dapat dilengkapi oleh Penyidik.
Kewenangan jaksa dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi pada Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ UU KPK telah sesuai dengan konstitusi.
Menurut Henning Rainer Glaser dari University of Münster, Jerman mengatakan sifat dan peran penuntutan berevolusi secara historis. Adanya penyusunan fungsi dan kewenangan dalam penuntutan berbeda oleh tiap negara.
Awalnya bagi negara yang menggunakan common law system menerapkan pembatasan peran penyidikan oleh jaksa. Namun saat ini telah melimpahkan kewenangan penyidikan untuk penuntutan tidak hanya menyoal fungsi investigasi seperti yang diterapkan Swiss. Selanjutnya Henning menjelaskan tentang hubungan Kejaksaan dengan Kepolisian dalam kewenangan penyidikan.
“Sejauh ini hubungan antara penuntutan dan kepolisian dapat disusun sesuai ketentuan-ketentuan bagi masing-masing pihak yang sifatnya lebih kolaboratif, saling melengkapi, memberi saran, dan melakukan pengawasan”.
Beberapa literatur disebutkan Indonesia menekankan pada praduga tidak parsial, apabila dikaitkan dengan kewenangan penyidikan yang memisahkan penyidikan penuntutan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka dapat dilakukan upaya kolaboratif dan memberikan pengawasan.