Apakah dalam konteks perlindungan HAM yang dikaitkan dengan prinsip akusator, mana yang lebih tepat dipergunakan penyidikan penuntutan bisa dilakukan penggabungan atau bisa dipisah ada jeda untuk ruang kontrol. Kewenangan penyidikan yang diberikan pada kejaksaan telah banyak, namun dari hal tersebut apakah kemudian kewenangan tersebut hanya diperbolehkan pada kasus tindak pidana korupsi atau perkara tertentu yang bersifat terbatas saja.
Konteks perbandingan dalam memutus hal yang berkaitan dengan multiple investigation bodies. Kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Sementara itu, pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang (willkiur) dalam melakukan proses penyidikan. Karena, jelas pra penuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain.
Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Pra Penuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang, permintaan sering diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Pra Penuntutan.