Opini

Pengawasan Terhadap Kejaksaan Dalam Melakukan Proses Penyidikan Agar Tidak Sewenang-Wenang Menentukan Tersangka Tindak Pidana

×

Pengawasan Terhadap Kejaksaan Dalam Melakukan Proses Penyidikan Agar Tidak Sewenang-Wenang Menentukan Tersangka Tindak Pidana

Sebarkan artikel ini

Dalam proses penyidikan dan penyelidikan, hal ini tidak ditentukan secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga bisa jadi proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara begitu lama. Namun demikian, penyelidik tetap wajib membuat laporan hasil penyelidikan secara tertulis kepada penyidik.

Setelahnya penyidikan dilakukan dengan diterbitkannya surat perintah penyidikan. Kemudian diterbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) yang mana dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan surat perintah penyidikan.

Kepolisian melakukan proses penyidikan dan penyelidikan, proses penyidikan dan penyelidikan diterbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) yang mana dikirimkan kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor, ada lembaga lain yang melakukan pengawasan terhadap proses penyidikan dan penyelidikan yaitu Kejaksaan.

Jika pihak lembaga Kejaksaan melakukan proses penyidikan dan penyelidikan dalam tindak pidana tertentu siapa yang melakukan pengawasan, apakah bisa.
Penegakan Hukum Secara Optimal
Selain KUHAP ada pula UU Kejaksaan, UU Kepolisian, UU KPK, UU Tipikor adalah undang-undang yang memberikan pengecualian atau wewenang khusus.

Menganalogikan dengan keberadaan Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Sederhananya, kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyidikan pada norma tersebut bukan ketentuan yang bersifat umum. Dengan kata lain, terdapat suatu pengecualian di dalamnya dan hal demikian sangat lazim dan jika diperlukan untuk menangani hal-hal yang bersifat khusus.

Sementara itu, terkait dengan tindak pidana korupsi di Indonesia yang meningkat, dalam upaya pemberantasan ini tidak dapat dilakukan dengan cara biasa maka diperlukan penegakan hukum secara khusus.

Adapun metode yang dilakukan dengan pemberian wewenang penyidikan dapat dilakukan oleh lebih dari satu institusi hukum, sehingga hukum dapat ditegakkan secara optimal. Bahwa jaksa sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tersebut dapat menghapus mata rantai pra penuntutan, sehingga jaksa dapat membuat penyelesaian perkara lebih efisien.

Dengan kewenangan jaksa yang dapat melakukan penyidikan, maka secara praktis hal ini pun akan mempercepat jaksa menguasai perkara dan pembuktiannya tidak akan bertele-tele.

Dengan kewenangan penyidikan ini kejaksaan akan semakin super power, maka menilai kejaksaan merupakan pengendali dalam penegakan hukum karena hanya kejaksaan yang dapat menentukan suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak. Meski jaksa diberi kewenangan untuk penuntutan atas nama negara, namun itu tidak terlepas dari pengawasan dalam pelaksanaannya.

Salah satu contoh dalam kasus Surya Darmadi tidak harus membayar uang pengganti sebesar Rp 39,75 triliun setelah MA memutus untuk menghapus uang pengganti dalam putusan kasasinya. Dalam tuntutan di pengadilan tingkat pertama jaksa memisahkan antara keuntungan yang didapat dari hasil tindak pidana dengan kerugian perekonomian negara.

Mengingat membayar kerugian perekonomian negara tak dikenal dalam rezim tindak pidana korupsi, hal itu yang berpotensi menjadi pertimbangan putusan majelis kasasi, belum menemukan tuntutan serupa dalam kasus berbeda dimana jaksa memisah antara uang pengganti dengan kerugian negara.

Khawatir terjadi kesalahan dalam penghitungan oleh pihak yang diminta oleh Penuntut Umum. Kerugian dibesar-besarkan hingga saat ini tidak ada aturan baku dalam menghitung kerugian perekenomian negara.

Hal ini berakibat pihak yang diminta bantuan untuk menghitung hal tersebut hanya berdasarkan asumsi semata. Ini berbeda dengan penghitungan kerugian keuangan negara yang menggunakan metode akuntansi yang memang berlaku umum di berbagai negara, Penghitungan kerugian perekonomian tidak ada metode dan tidak ada aturannya, jadi masih suka-suka dan sesuai dengan selera penyidik Khususnya Kejaksaan dan yang menghitungnya.

Karena tidak ada ada aturan baku dalam menghitung kerugian perekenomian negara sehingga dalam beberapa kasus Hakim dapat memutus bebas terdakwa karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian negara secara de fakto dan de jure.

Akibat kurangnya pengawasan kepada penyidik dalam melakukan penyelidikan terkhusus kejaksaan dalam tindak pidana Korupsi.***
(Penulis adalah Dosen dan Ketua Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia (UPMI)- Medan dan Selaku Praktisi (Advokat). ****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *