Namun, cerita Hotman tak hanya soal pelatihan. Ini tentang transformasi. Dari seorang relawan komunikasi, kini ia menjadi sosok yang bisa turun langsung ke titik api. “Saya ingin bantu lebih dari sekadar menyebar informasi. Saya ingin berada di tengah-tengah masyarakat, ikut bertindak,” ujarnya.
Dalam komunitas RAPI, Hotman dikenal sebagai suara yang tenang dalam situasi darurat. Ia mengatur lalu lintas komunikasi saat kebakaran melanda kawasan sekitar Danau Toba. Kini, dengan ilmu yang baru dimilikinya, ia bisa lebih dari itu: memandu, memperingatkan, bahkan memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Hotman menyadari, kebakaran hutan bukan hanya soal alam yang terbakar. Ia soal kehidupan yang hilang—flora, fauna, dan manusia yang terdampak. “Satu batang pohon besar yang terbakar, butuh puluhan tahun untuk tumbuh kembali. Tapi kalau kita bertindak cepat, itu bisa dicegah,” katanya.
Di tengah tantangan perubahan iklim dan musim kemarau panjang, peran masyarakat sipil seperti Hotman semakin vital. Tak semua hal bisa diselesaikan oleh petugas pemerintah. Kehadiran warga terlatih di lapangan menjadi kunci penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran.
Hotman pun kini menjadi narasumber lokal dalam berbagai pertemuan warga. Ia berbagi pengalaman pelatihan, menunjukkan cara membuat sekat bakar sederhana, hingga memperkenalkan radio komunikasi darurat sebagai alat penting mitigasi bencana.
“Kadang orang berpikir menjaga hutan itu urusan petugas. Tapi saya ingin tunjukkan, bahwa warga biasa pun bisa jadi bagian dari solusi,” tegasnya.
Semangat itu pula yang mendorong Hotman berencana membentuk tim kecil relawan Manggala Agni tingkat desa. Ia ingin merekrut anak-anak muda untuk peduli pada hutan, tak hanya lewat teori, tapi lewat aksi nyata di lapangan.
Kini, setiap kali Hotman menyalakan radionya, tak hanya suara bencana yang ia dengar. Ia juga mendengar suara harapan. Harapan bahwa semakin banyak warga seperti dirinya—yang bersuara, bergerak, dan menjaga hutan dengan sepenuh hati.