Khataman Al-Qur’an menjelang pernikahan bukan hanya tradisi, melainkan bentuk penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah sebelum menempuh fase baru kehidupan. Luthfa memulainya dengan Al-Qur’an, dan itulah doa terbaik dari seorang anak kepada orang tua, dari keluarga kepada generasi, dari bumi menuju langit.
Saya duduk merenung di sudut ruangan, menyadari bahwa tidak semua orang tua seberuntung ini. Banyak yang mewariskan kekayaan, tetapi harusnya juga berhasil mewariskan cinta kepada Al-Qur’an.
Di tengah derasnya arus digital dan gempuran gaya hidup instan, keberhasilan Bupati Baharuddin dan istri mendidik putrinya menjadi pecinta Kalamullah adalah pencapaian luar biasa. Ini bukan hanya sukses keluarga, tapi juga inspirasi bagi masyarakat luas—bahwa jabatan tinggi pun bisa berpadu indah dengan nilai-nilai spiritual di rumah tangga.
Luthfa Taqwima bukan hanya calon pengantin, ia adalah simbol harapan. Bahwa generasi muda masih bisa dekat dengan Allah, masih bisa mencintai Al-Qur’an, dan masih bisa membuat orang tuanya menangis bukan karena kecewa—tetapi karena bahagia yang begitu dalam.
Di ujung acara, ketika doa khatam dilantunkan, saya menyaksikan banyak wajah yang basah oleh air mata. Mata yang tidak hanya melihat, tapi menyerap makna. Dan malam itu, saya pulang dengan hati penuh rasa: haru, bangga, dan bersyukur. Karena saya tahu, saya baru saja menyaksikan kekayaan sejati milik seorang Bupati—yang tak akan pernah habis dan tak akan pernah bisa dibeli. (Zulfikar Tanjung – wartaean utama dewan pers)