Gubernur mesti memanggil Kepala Biro PBJ untuk memaparkan secara terbuka bagaimana sistem e-Katalog benar-benar bekerja di Sumut, bagaimana pengawasan internal berjalan, dan bagaimana PBJ memastikan tidak ada celah penyimpangan di luar sistem digital yang telah dibangun.
Sebab publik tidak lagi puas hanya dengan kata “transparan” atau “sistem digital”. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan tidak lahir dari terminologi teknis, tetapi dari bukti integritas yang nyata.
Bila Gubernur Bobby ingin menjaga kehormatan PHTC sebagai simbol reformasi birokrasi Sumut, maka pengawasan atas sistem PBJ harus menjadi prioritas moral—bukan sekadar rutinitas administrasi.
*Tanggung Jawab Chandra*
Adapun bagi Chandra Dalimunthe sendiri, bantahan itu kini menjadi cermin tanggung jawab yang berat. Ia perlu menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari pejabat publik akan diuji oleh waktu, oleh fakta, dan oleh mata publik yang tidak pernah tidur.
Jika kelak muncul indikasi sebaliknya, maka bukan hanya kredibilitas pribadinya yang akan terguncang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap seluruh bangunan sistem pengadaan di Pemprov Sumut.
Apalagi Chandra pada konferensi pers tersebut telah menegaskan peran PBJ hanyalah fasilitator sistem nasional yang dibangun Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), sementara seluruh kewenangan pemilihan penyedia berada di tangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di masing-masing OPD.
Ucapan itu disampaikannya penuh percaya diri dalam konferensi pers di Kantor Gubernur Sumut, seolah menjadi penegasan bersihnya seluruh sistem pengadaan di bawah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Dalam konteks itulah, bantahan Chandra bukan sekadar pembelaan, melainkan pengakuan yang mengandung konsekuensi karena ia harus siap mempertanggungjawabkannya — dengan bukti, bukan kata-kata.
Sebab pada akhirnya, publik akan menilai bukan dari seberapa lantang seorang pejabat membantah, melainkan seberapa bersih ia menjaga kepercayaan yang melekat pada jabatannya.