Sebenarnya pasal-pasal tambahan yang tidak diatur dalam PD-PRT bisa saja dijadikan bagian dari persyaratan namun harus diumumkan jauh-jauh hari, tidak ujug-ujug dimunculkan dalam proses pemilihan.
Hal ini juga mengacu pada mekanisme format dukungan, termasuk jika terjadi dukungan ganda terhadap calon. Sikap pemaksaan kehendak tanpa melalui mekanisme ini mengindikasikan calon incumbent ingin memanfaatkan kewenangan SC mengendalikan persidangan.
Penguatan terhadap skenario pemaksaan kehendak ini makin sangat kentara manakala pimpinan sidang sementara dari unsur SC berulang kali menyampaikan hal-hal yang belum diatur dapat diputuskan dalam Kongres, karena Kongres merupakan forum tertinggi dalam sebuah organisasi.
Sebenarnya apa yang disampaikan Pimpinan sidang sementara benar, karena makna Kongres ini adalah menyempurnakan aturan organisasi agar lebih baik, namun harus tetap mengacu pada PD-PRT, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Kode Prilaku Wartawan (KPW) PWI. Utamanya harus dikecualikan terhadap ‘niatan tertentu’ yang berujung pada kepentingan kelompok.
Dan yang perlu digaris-bawahi adalah keputusan yang sangat prinsipil tidak berlaku secara serta merta, apalagi dalam PD-PRT disebutkan hal-hal perubahan PD-PRT yang disahkan oleh Kongres harus dibuat dalam akte notaris.
Peraturan Organisasi
Solusi lain yang selama ini belum dilakukan pengurus pusat adalah menyiapkan Peraturan Organisasi (PO) atau istilah lainnya yang permanen guna melengkapi/menyempurnakan hal-hal tehnis yang belum diatur dalam PD-PRT, KEJ maupun KPW.
Keberadaan PO yang merupakan turunan dari PD-PRT dianggap perlu dan mendesak khususnya menyikapi tata cara pemilihan Ketua Pusat, Ketua Provinsi dan Ketua Kabupaten/Kota, persyaratan calon, jadwal pendaftaran dan hal-hal lain yang dianggap prinsipil.
Penolakan terhadap dukungan 20 persen dari Provinsi dan perdebatan tentang batas usia minimal untuk menjadi calon Ketua menjadi bukti perlunya aturan tambahan yang menjadi acuan dalam melaksanakan mekanisme organisasi.