Medan, Sinarsergai.com – Sidang perkara dugaan korupsi penggunaan Dana Bos SMAN8 Medan pada tahun 2017, senilai Rp1,4 Milyar dengan terdakwa Mantan Kepala SMAN8 Medan, Jonggor Rantau Panjaitan kembali berlangsung diruang Cakra 8 Pengadilan Negeri Medan, Jumat (13/05/22). Tampak seorang rekanan dan empat mantan pelajar SMAN8 Medan yang dihadirkan Penasehat Hukum terdakwa.
Triyandi dalam kesaksiannya pernah menjadi rekanan dalam hal pemasangan jaringan kabel listrik dan LAN (untuk jaringan komputer), dan UPS dengan total anggaran Rp303 juta pada tahun 2017.
Mendengar itu, Ketua Majelis Hakim Eliwarti menanyakan apakah ada penawaran dengan pihak sekolah?, Triyandi menyatakan bahwa dirinya yang langsung membawa penawaran dan bertemu dengan Jonggor. Disidang itu dalam kesaksiannya ia juga menyarankan kabel listrik diganti dan ditambah meteran listrik kepada terdakwa yang waktu itu Kepala SMAN8 Medan.
Ditanyakan cara pembayarannya, Tri menjawab bahwa uang itu dicicil sebanyak 10 kali. “Namun setiap terminnya tidak ada kwitansinya, dari total keseluruhannya hanya Rp301 juta yang baru dibayarkan, karena kurang pembayaran ia tidak mau menerima pekerjaan yang ditawarkan karena tak sesuai dengan apa yang dijanjikan pada pekerjaan sebelumnya,”ujarnya.
Masih dalam persidangan tersebut, Tri sempat menyebutkan kalau dirinya dalam setiap tahap pembayaran selalu bertemu dengan terdakwa seorang, dan kalau rekanan hanya Puan.
Namun ketika dikonfrontir dengan terdakwa menyatakan saat bertemu dengan Tri tidak sendirian akan tetapi ada orang lain, kemudian saksi meralatnya bahwa bertemu langsung ada dua kali didampingi orang lain tapi dia tidak kenal orangnya siapa. “Maklumlah majelis hakim, saya ingatnya bertemu langsung dengan pihak Kepala SMAN8 Medan, Pak Jonggor kalau pun ada orang lain dikantor atau diruangan tersebut tidak mengenalnya,”ucapnya sembari menyebut kwitansi pembayaran diberikan setelah pembayaran ke sepuluh.
Mendengar Kesaksian yang disampaikan Triyandi, membuat Ketua Majelis Hakim Eliwarti, serta dua hakim anggota, Imanuel Tarigan dan Rurita Ningrum hanya geleng-geleng kepala yang seharusnya setiap pembayaran pada setiap tahapannya harus ada kwitansi.