” Anehnya lagi dari dua saksi yang di undang untuk diwawancara tidak ada diberikan sepucuk surat, serta selama tujuh bulan Luthfi hanya menerima satu kali surat SP2HP. Dengan tidak adanya kepastian hukum terhadap luthfi diduga Kapolrestabes, Kasat Reskrim dan Panit sebagai angkum dari penyidik pembantu telah melanggar kode etik Profesi Polri.
Dimana seharusnya ”Setiap Anggota Polri wajib : Menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural” Pasal 5 Ayat (1) huruf C Perpol Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia,” tutur Ivan.
Serta Memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Pasal 7 huruf C Perpol Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tidak hanya itu, dengan tidak adanya kepastian hukum dan keadilan terhadap kasus luthfi diduga Kapolrestabes, Kasat Reskrim, Panit dan Penyidik Pembantu juga telah melanggar Hak Asasi lutfi, sebagimana yang diatur dalam UU HAM jo Pasal 26 UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) menyebutkan “Semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun”
Maka patut secara hukum LBH Medan telah membuat pengaduan dan mohon keadilan kepada jajaran Mabes Polri dan Propam Polda Sumut atas adanya dugaan Pelanggaran Kode etik profesi yang diduga dilakukan Kapolrestabes, Kasat Reskrim, Panit dan Penyidik Pembantu, Polrestabes Medan. ( Mar/ril)